Berani Menghadapi Kenyataan Hidup

Rabu, 29 Januari 2014

Kehidupan Dunia
Allah telah memberi kelebihan yang sempurna atas manusia dibandingkan dengan kebanyakan makhluk lainnya. Dengan akalnya manusia meniru semut, yang diterjemahkan sesuai logikanya ke dalam ikhwal bekerja tanpa mengenal waktu atau tingkah laku menimbun harta benda. Waktu tersita untuk urusan dunia saja. Saat melihat sukses dunia manusia lebih suka melihat ke atas, sehingga selalu merasa kurang, ujung-ujungnya semakin jauh dari bersyukur.

Islam telah mengajarkan untuk membuat keseimbangan antara urusan dunia dan urusan akhirat. Kaitan antara keseimbangan urusan duniawi dan ukhrawi, diriwayatkan oleh Ibnu Askar bahwa Nabi SAW bersabda :  “Kerjakanlah urusan duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan beramallah (Beribadah) untuk akhiratmu sekan-akan kamu akan mati besok” (HR Ibnu Askar).


Kenyataan hidup membosankan bagi si kaya, apa yang sudah dipunyainya terasa hambar. Bahkan menjadi pahit ketika keluarga tak bisa menikmati sebagai berkah. Karena yang diperoleh belum pernah dipunyai, hidup terasa nikmat bagi si miskin. Nasi aking lauk ikan kering terasa nikmat dimakan sekeluarga.

Kenyataan hidup sebagai proses yang berulang,  menerus, monoton dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kehidupan dunia didominasi kegiatan mencari nafkah dengan pola yang nyaris sama, dari satu keluarga menurun ke anak keturunannya. Sehingga status si kaya maupun si miskin seolah diwariskan ke anak cucunya.

Kenyataan hidup yang lebih menampilkan sukses dunia, bahkan majunya pembangunan ditengarai dengan pembangunan fisik di kota, bukan salah bunda mengandung. Allah telah mengingatkan kita [QS Ali ‘Imran (3) : 145] : "Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Ketetapan Allah
Kendati manusia menjadi khalifah di muka bumi, tidak otomatis mempunyai hak menentukan perjalanan hidupnya. Bahkan tidak mengantongi hak pilih untuk memilih kapan lahir dan kapan wafat. Tidak sedikitpun mampu menerawang garis kehidupannya yang seolah tercetak di telapak tangan.

Berbagai ikhtiar manusia, tidak salah kalau menganut faham “siapa menanam akan menuai” tanpa memahami dimensi lainnya. Dunia tidak akan diraih oleh seorang hamba walau sampai berjibaku dan acap dia pun mengalami kerendahan ataupun kegagalan dan harus siap bersaing dengan lainnya. Allah telah meyuratkan [QS Ar Ruum (30) : 7] : "Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”

Lalai bukan penyakit keturunan, bisa kita minimalisir dengan memadukan ilmu umum dan ilmu agama. Hidup harus optimis, direncanakan dengan Insya Allah, dimulai dengan Bismillah, dan nikmati dengan Alhamdulillah.Masalah hidup untuk dihadapi, bukan untuk dihindari. Hidup adalah fungsi masalah.

Menjaga diri agar tetap bisa bangun pagi di tiap hari merupakan masalah mendasar. Hidup merupakan perulangan dari pagi hingga pagi hari berikutnya. Hidup berbasis duniawi dan berorioentasi ke akhirat. Hidup adalah fungsi waktu. Waktu kemarin tak akan kembali. Waktu nanti belum tentu milik kita. Manfaatkan waktu sekarang, agar tak liwat sia-sia.

Al-Qur`an menjelaskan dalam berbagai ayat tentang hakikat dunia, kerendahannya, kefanaannya, dan hinanya, dan juga menerangkan lawannya yaitu negeri akhirat, di mana akhirat itu kekal dan lebih baik daripada dunia. Bahkan menyuratkan dunia itu sesuatu yang menipu, bathil, permainan dan sesuatu yang melalaikan. (Herwin Nur/Wasathon.com)

0 komentar:

Posting Komentar